Hot Artikel

Perubahan Geto Saguru Jujutsu Kaisen Justru Sesuai Ajaran Islam


Perubahan Geto Saguru  Jujutsu Kaisen Justru Sesuai Ajaran Islam

Perubahan Geto Saguru  Jujutsu Kaisen Justru Sesuai Ajaran Islam - Kalau kita bicara tentang Jujutsu Kaisen, nama Geto Suguru selalu muncul di daftar karakter yang paling tragis sekaligus kompleks. Dia bukan penjahat sederhana yang sejak awal memang punya niat jahat. Sebaliknya, dia memulai hidupnya sebagai sosok yang memegang teguh prinsip: “Penyihir ada untuk melindungi orang normal dari kutukan.”

Namun, perjalanan hidupnya justru menunjukkan bagaimana prinsip yang tampak kokoh bisa runtuh ketika keyakinan itu tidak lagi sejalan dengan pengalaman hidup. Geto mengalami apa yang dalam Islam kita kenal sebagai krisis tujuan — titik di mana niat dan ideologi awalnya tergeser oleh rasa kecewa, luka, dan kebencian.

Dalam artikel ini, kita akan membedah perjalanan Geto dari penyihir pelindung menjadi pemimpin kutukan, lalu melihatnya dari perspektif ajaran Islam: bagaimana menjaga tujuan yang lurus, kenapa niat adalah pondasi amal, dan apa yang terjadi jika istiqamah itu hilang.


1. Awal Perjalanan: Idealisme Seorang Penyihir

Ketika muda, Geto Suguru adalah salah satu penyihir jujutsu paling berbakat di angkatannya. Dia memiliki teknik unik Cursed Spirit Manipulation, kemampuan untuk mengendalikan kutukan setelah mengalahkannya. Bersama sahabatnya, Gojo Satoru, dia termasuk generasi emas yang diyakini akan membawa masa depan cerah bagi dunia jujutsu.

Geto percaya bahwa tugas penyihir adalah melindungi manusia normal dari kutukan, meski manusia normal tidak bisa melihat bahaya itu. Prinsip ini mirip dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam: melakukan kebaikan meski yang dibantu belum tentu sadar atau berterima kasih.

Namun, sejak awal, ada benih masalah: pekerjaan sebagai penyihir itu berat, berbahaya, dan sering tidak dihargai. Hampir setiap misi berarti mempertaruhkan nyawa, dan sumber kutukan yang harus dibasmi justru lahir dari manusia biasa yang dipenuhi emosi negatif.


2. Ujian Pertama: Misi Riko Amanai

Titik goyah pertama Geto adalah misi pengawalan Riko Amanai. Riko adalah calon Star Plasma Vessel, gadis yang harus bergabung dengan Master Tengen demi menjaga keseimbangan dunia jujutsu. Geto dan Gojo ditugaskan melindunginya.

Awalnya misi berjalan lancar, tapi semuanya berubah ketika Toji Fushiguro menyerang dan membunuh Riko di depan mata mereka. Gojo hampir mati, dan Geto merasa gagal total.

Bagi Geto, ini bukan sekadar kegagalan misi, tapi pukulan batin. Dia mulai bertanya dalam hati: Kalau ini yang disebut melindungi, kenapa hasilnya malah kematian orang yang kita lindungi? Rasa frustrasi itu menanamkan keraguan pada prinsipnya.

baca juga : 

Kaum Eldia Ternyata Terinspirasi dari Yahudi? Fakta yang Nggak Banyak Orang Tahu
Naruto Uzumaki: An Orphan's Path Mirroring Islamic Teachings



3. Beban yang Menumpuk

Setelah kejadian Riko, Geto kembali menjalankan tugasnya, tapi setiap misi semakin berat secara mental. Dia sadar bahwa kutukan selalu lahir dari manusia biasa. Ironisnya, manusia-manusia itu tidak pernah tahu, apalagi berterima kasih.

Bayangkan jika setiap hari kamu mempertaruhkan nyawa untuk orang-orang yang bahkan menganggapmu aneh atau berbahaya. Dalam Islam, ini situasi mirip dengan para nabi yang ditolak kaumnya, tapi bedanya: para nabi tetap sabar dan istiqamah. Geto tidak punya fondasi spiritual yang cukup kuat untuk menahan tekanan itu.


4. Titik Balik: Tragedi di Desa Penyihir Muda

Puncak perubahan Geto terjadi ketika ia melihat dua gadis penyihir muda disiksa oleh penduduk desa mereka sendiri. Bagi penduduk itu, kemampuan kedua gadis itu adalah “kutukan” yang berbahaya. Geto marah besar — marah karena orang yang seharusnya dilindungi malah diperlakukan seperti musuh.

Di sinilah garis moral Geto patah. Untuk pertama kalinya, dia membunuh manusia biasa, bukan kutukan. Bukan sekadar satu atau dua, tapi seluruh desa. Kejadian ini adalah momen di mana tujuan awalnya berubah. Ia tidak lagi ingin melindungi semua orang, hanya penyihir.


5. Ideologi Baru: Dunia untuk Penyihir

Setelah tragedi itu, Geto mulai mengembangkan ideologi baru:

  • Manusia biasa adalah sumber masalah.

  • Dunia akan lebih baik jika hanya penyihir yang hidup.

Dia mulai mengumpulkan kutukan untuk dijadikan pasukan, merekrut pengikut yang setuju dengan pandangannya, dan memimpin perlawanan terhadap sistem sekolah jujutsu.

Dari sudut pandang Islam, inilah momen ketika niat amalnya bergeser. Dulu tujuannya mulia (menjaga orang dari bahaya), kini tujuannya eksklusif dan berbasis kebencian. Nabi ï·º bersabda:

“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya...”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika niat berubah, nilai amal pun berubah — bahkan amal yang secara lahiriah tampak hebat bisa menjadi dosa jika niatnya salah.


6. Geto dan Krisis Tujuan

Perubahan Geto bisa kita simpulkan sebagai krisis tujuan:

  • Tujuan awal: melindungi semua orang dari kutukan.

  • Krisis: merasa tidak dihargai, mengalami trauma, melihat ketidakadilan.

  • Tujuan baru: hanya melindungi penyihir, menyingkirkan yang lain.

Dalam Islam, krisis seperti ini dihadapi dengan istiqamah — konsisten dalam kebenaran meskipun dunia terasa tidak adil. Allah berfirman:

“Maka tetaplah engkau di jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu... dan janganlah kamu melampaui batas.”
(QS. Hud: 112)

Geto tidak memilih istiqamah; dia memilih mengubah jalannya demi memuaskan rasa benci.


7. Pelajaran dari Rasulullah ï·º

Kisah Geto sangat kontras dengan teladan Rasulullah ï·º. Nabi juga mengalami penolakan dan kebencian dari orang yang beliau selamatkan. Di Thaif, beliau bahkan dilempari batu sampai berdarah, tapi doanya adalah:

“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”

Beliau tetap berpegang pada tujuan awal: menyelamatkan manusia dari kesesatan, tanpa mengubah orientasi karena respon manusia yang buruk.


8. Sisi Manusiawi Geto

Meski sudah berubah menjadi musuh, Geto tetap punya sisi manusiawi. Dia peduli pada pengikutnya, terutama penyihir muda dan kutukan yang dianggap “keluarga”. Dia bukan penjahat yang membuang anak buah seenaknya. Hal ini menunjukkan bahwa keburukan Geto bukan karena hilangnya empati, tapi karena empatinya diarahkan hanya pada kelompok tertentu.

Dalam Islam, ini seperti ashabiyyah — fanatisme kelompok. Nabi ï·º memperingatkan bahwa ashabiyyah adalah sikap tercela, karena keadilan dan kasih sayang dalam Islam berlaku universal, bukan hanya untuk kelompok sendiri.


9. Hubungan dengan Gojo Satoru: Tragedi Persahabatan

Gojo dan Geto dulunya sahabat dekat, seperti dua sisi mata uang. Gojo memilih tetap melindungi semua orang, sementara Geto memilih jalan eksklusif. Pertemuan mereka di Jujutsu Kaisen 0 adalah momen memilukan, karena Gojo jelas masih peduli, tapi tak bisa mengembalikan Geto ke jalan awal.

Dalam Islam, ini mengingatkan kita bahwa sahabat adalah cermin. Rasulullah ï·º bersabda:

“Seseorang itu tergantung agama sahabat karibnya...” (HR. Abu Dawud)

Sayangnya, ketika Geto mulai goyah, ia menjauh dari sahabat yang bisa menasihatinya.


10. Pelajaran untuk Kita

Dari kisah Geto Suguru, ada beberapa pelajaran penting menurut ajaran Islam:

  1. Jaga niat dan tujuan. Jangan biarkan pengalaman pahit mengubah niat dari kebaikan menjadi kebencian.

  2. Istiqamah itu mahal. Bertahan di jalan benar meski disakiti adalah ujian terbesar.

  3. Jangan pilih kasih dalam kebaikan. Islam mengajarkan keadilan untuk semua, meski terhadap yang membenci kita.

  4. Hati-hati dengan fanatisme kelompok. Memihak hanya pada “kelompok sendiri” bisa menjerumuskan pada kezaliman.

  5. Sahabat yang baik itu penyelamat. Jangan tinggalkan orang yang mengingatkan kita pada tujuan awal.



Tidak ada komentar