Hot Artikel

Lagu Hanabie ‘Pardon Me, I Have to Go Now’ dan Kritik terhadap Budaya Kerja Jepang yang Tak Manusiawi

Lagu Hanabie ‘Pardon Me, I Have to Go Now’ dan Kritik terhadap Budaya Kerja Jepang yang Tak Manusiawi 

 

Lagu Hanabie ‘Pardon Me, I Have to Go Now’ dan Kritik terhadap Budaya Kerja Jepang yang Tak Manusiawi - Setelah sebelumnya kita pernah membahas soal Jujutsu Kaisen dan nilai-nilai Islam yang bisa kita temukan di balik cerita karakter-karakternya, kali ini kita akan sedikit bergeser, tapi tetap masih berhubungan dengan Jepang. Bedanya, bukan dari anime, tapi dari musik. Ada satu lagu yang lagi cukup banyak dibicarakan dari band Jepang bernama Hanabie, judulnya “Pardon Me, I Have to Go Now.” Lagu ini sebenarnya cukup unik, karena dibawakan dengan gaya yang enerjik, penuh teriakan khas metalcore, tapi kalau kita perhatikan liriknya, ternyata menyimpan kritik sosial yang cukup dalam, terutama soal budaya kerja di Jepang. Nah, dari sini, kita bakal bahas bukan cuma soal lagunya, tapi juga kenyataan pahit budaya kerja Jepang, bahkan sampai bagaimana kaitannya kalau seorang Muslim hidup di sana. Jadi kita bisa dapat gambaran lebih luas tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Makna Lagu Hanabie “Pardon Me, I Have to Go Now”

Kalau kita dengar lagu ini, kesan pertamanya mungkin terdengar seperti lagu rock/metal biasa, dengan tempo cepat dan vokal penuh teriakan. Tapi sebenarnya, isi liriknya justru mengandung kritik yang relevan dengan keseharian banyak orang Jepang. Judulnya sendiri, “Pardon Me, I Have to Go Now,” bisa ditafsirkan sebagai sindiran terhadap kondisi pekerja kantoran yang seringkali terjebak dalam rutinitas kerja tanpa henti, sampai-sampai tidak punya waktu untuk kehidupan pribadi. Seakan-akan, mereka ingin bilang, “Maaf, saya harus pergi sekarang,” tapi kenyataannya mereka tidak pernah bisa benar-benar pergi. Mereka terikat pada jam kerja panjang, lembur, bahkan sering kali harus mengorbankan kesehatan dan waktu pribadi demi pekerjaan.

Baca Juga : 

Kenapa Manusia Harus Memiliki Tujuan Hidup? Itadori Dan Thorfin Punya Jawabannya
Kenapa Kyoto Ingin Membunuh Yuji Itadori di Jujutsu Kaisen? Fakta Mengejutkan!
 

Budaya kerja di Jepang memang sudah lama dikenal ekstrem. Ada istilah yang cukup terkenal, yaitu karoshi, yang artinya “mati karena kerja berlebihan.” Ini bukan sekadar istilah dramatis, tapi benar-benar nyata. Ada banyak kasus orang Jepang yang meninggal karena serangan jantung atau bunuh diri akibat tekanan kerja yang terlalu besar. Dan kalau kita hubungkan dengan lagu Hanabie tadi, rasanya pas sekali. Lagu ini seperti jeritan hati generasi muda Jepang yang muak dengan sistem kerja yang menguras energi tanpa ampun.

Mari kita lihat lebih dalam. Di Jepang, budaya pulang kerja larut malam itu sudah sangat wajar. Banyak pekerja kantoran atau yang disebut “salaryman” harus tetap berada di kantor meskipun pekerjaan mereka sudah selesai, hanya karena bos mereka masih di kantor. Ada semacam budaya tidak enak hati kalau pulang lebih dulu daripada atasan. Akibatnya, mereka sering baru pulang larut malam, lalu berangkat lagi pagi-pagi. Hidup mereka benar-benar habis di kantor.

Kritik terhadap Budaya Kerja Jepang

Nah, di akhir pekan, untuk melepas penat, banyak pekerja Jepang memilih minum alkohol sampai mabuk. Bahkan minum bareng rekan kerja dianggap bagian dari budaya sosial yang penting, semacam cara menjaga hubungan baik dengan rekan atau atasan. Jadi jangan heran kalau banyak restoran izakaya (semacam bar ala Jepang) penuh oleh para salaryman setiap malam Jumat. Mereka minum sampai mabuk, lalu pagi harinya kembali lagi ke rutinitas kerja yang sama. Siklus seperti ini berulang terus, dan lama-lama bikin lelah bukan hanya fisik, tapi juga mental.

Kenapa Lagu Ini Jadi Cermin Kehidupan Pekerja Jepang

Kalau kita kembali ke lagu Hanabie, sebenarnya ini seperti cerminan keresahan generasi muda Jepang. Mereka mulai mempertanyakan, “Apakah hidup hanya untuk bekerja? Apakah kita harus mengorbankan diri kita demi perusahaan?” Lirik-lirik dalam lagu ini bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan, meskipun dibungkus dengan gaya musik keras yang mungkin tidak semua orang bisa nikmati. Tapi justru di situlah letak kejujurannya. Musik keras itu cocok untuk menyalurkan amarah, frustrasi, dan kritik terhadap sistem kerja yang dianggap tidak manusiawi.

Sekarang mari kita coba kaitkan dengan sudut pandang Islam. Kalau seorang Muslim hidup di Jepang, bagaimana menghadapi budaya kerja seperti ini? Pertama, dalam Islam, kerja keras itu memang dianjurkan. Kita bahkan diperintahkan untuk bekerja mencari rezeki halal. Tapi Islam juga menekankan pentingnya keseimbangan hidup. Ada hak tubuh yang harus dijaga, ada hak keluarga, ada hak ibadah kepada Allah. Jadi kalau hidup hanya dihabiskan untuk bekerja tanpa jeda, jelas bertentangan dengan prinsip Islam. Nabi Muhammad SAW bahkan pernah menasihati sahabatnya untuk menjaga keseimbangan: beribadah, bekerja, tapi juga istirahat.

Tantangan bagi Muslim yang Hidup dan Bekerja di Jepang

Waktu Sholat dan Kebijakan Kantor di Jepang

Di Jepang, dengan budaya kerja seperti itu, pertanyaan besar muncul: apakah seorang Muslim bisa menjalankan sholat lima waktu dengan tenang? Apakah kantor di Jepang memberi kesempatan untuk istirahat sholat, sebagaimana di banyak negara Muslim? Nah, di sinilah tantangannya. Umumnya, kantor di Jepang tidak secara khusus menyediakan ruang untuk ibadah sholat, karena mayoritas masyarakatnya bukan Muslim. Tapi bukan berarti tidak ada kesempatan sama sekali. Banyak perusahaan Jepang yang mulai terbuka, terutama perusahaan multinasional, menyediakan ruang istirahat atau prayer room untuk karyawan Muslim. Namun, kalau kita bicara soal perusahaan Jepang tradisional, apalagi perusahaan kecil, biasanya tidak ada. Jadi, seorang Muslim harus pintar mencari waktu di sela-sela jam istirahat, atau sholat di tempat seadanya.

Kesulitan Menemukan Tempat Ibadah di Tengah Kesibukan

Sebenarnya, jam istirahat makan siang di Jepang cukup panjang, sekitar satu jam. Di situlah biasanya Muslim bisa menyempatkan sholat Dzuhur. Tapi untuk sholat lain seperti Ashar atau Maghrib, sering kali sulit karena masih di jam kerja atau perjalanan pulang. Jadi memang butuh usaha ekstra untuk menjaga konsistensi ibadah. Tapi di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa Islam bisa fleksibel, selama ada niat dan usaha.

Budaya “Tidak Boleh Lelah” dalam Dunia Kerja Jepang

Kembali ke topik budaya kerja, sebenarnya banyak orang Jepang sendiri yang mulai menyadari bahwa sistem kerja lama mereka sudah tidak sehat. Generasi muda, seperti yang disuarakan Hanabie lewat lagu mereka, mulai menuntut perubahan. Mereka ingin punya lebih banyak waktu pribadi, ingin hidup yang lebih seimbang, bukan hanya bekerja terus. Bahkan ada tren baru di Jepang yang disebut “work-life balance movement,” di mana perusahaan mulai didorong untuk membatasi lembur, memberi cuti yang lebih longgar, dan menyediakan opsi kerja fleksibel. Walaupun belum semua perusahaan menerapkan, setidaknya ini tanda bahwa ada harapan perubahan.

Nilai Kesabaran dan Disiplin Islam dalam Menghadapi Sistem Jepang

Kalau kita refleksikan, Islam sebenarnya sudah mengajarkan konsep work-life balance jauh sebelum istilah itu populer. Islam mengatur waktu dengan sangat rapi lewat sholat lima waktu. Sholat Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya, semuanya jadi semacam “alarm” alami agar manusia berhenti sejenak dari kesibukan duniawi untuk mengingat Allah. Jadi kalau seorang Muslim hidup di Jepang dan bisa tetap menjaga sholat di tengah budaya kerja sibuk, sebenarnya dia justru menunjukkan esensi Islam yang paling indah: keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Waktu Sholat dan Kebijakan Kantor di Jepang

Namun, realitanya memang tidak mudah. Bayangkan, seorang Muslim yang bekerja di kantor Jepang, mungkin harus menghadapi rekan-rekan kerja yang setiap malam diajak minum di izakaya. Padahal, dalam Islam, minum alkohol jelas dilarang. Jadi seorang Muslim harus punya prinsip kuat untuk menolak dengan cara baik. Bisa saja dianggap aneh atau tidak sopan oleh rekan kerja Jepang, tapi inilah tantangan hidup sebagai minoritas.

Tapi justru di situlah poin pentingnya. Kehadiran Muslim di Jepang bisa jadi semacam pengingat bahwa ada cara hidup lain yang lebih seimbang. Bahwa ada cara menikmati hidup tanpa harus mabuk-mabukan setiap akhir pekan. Bahwa ada cara mencari ketenangan bukan hanya lewat kerja mati-matian, tapi juga lewat doa, ibadah, dan spiritualitas. Jadi, kalau kita lihat lebih luas, seorang Muslim di Jepang bukan hanya sekadar beradaptasi, tapi juga membawa nilai alternatif yang mungkin bisa menginspirasi orang Jepang.

Kalau kembali ke lagu Hanabie, pesan yang ingin mereka sampaikan sejalan dengan ajaran Islam: bahwa manusia butuh lebih dari sekadar pekerjaan. Manusia butuh makna, butuh waktu untuk diri sendiri, butuh ruang untuk bernafas. Dan dalam Islam, ruang itu jelas difasilitasi lewat ibadah dan aturan keseimbangan hidup. Jadi, meskipun mungkin Hanabie tidak bermaksud menyuarakan perspektif religius, kritik mereka terhadap budaya kerja Jepang bisa kita maknai sebagai sesuatu yang universal, yang bisa nyambung dengan nilai Islam.

Refleksi Akhir — Pesan dari Hanabie dan Budaya Jepang untuk Dunia

Di akhir pembahasan ini, mari kita jawab pertanyaan yang tadi sempat muncul: apakah di budaya kerja kantoran Jepang ada istirahat untuk sholat? Jawabannya: secara resmi, tidak ada aturan khusus. Jepang bukan negara Muslim, jadi tidak ada kewajiban bagi kantor untuk menyediakan waktu sholat. Tapi biasanya ada jam istirahat makan siang yang bisa dimanfaatkan. Di perusahaan yang lebih modern atau internasional, bahkan kadang ada prayer room. Jadi semuanya tergantung situasi. Tapi intinya, seorang Muslim tetap bisa menjalankan sholat, meskipun harus dengan usaha ekstra. Dan mungkin, justru dengan tantangan seperti itulah kualitas ibadah seorang Muslim diuji.

 

 


 

Tidak ada komentar