Kenapa Kyoto Ingin Membunuh Yuji Itadori di Jujutsu Kaisen? Fakta Mengejutkan!
Kenapa Kyoto Ingin Membunuh Yuji Itadori di Jujutsu Kaisen? Fakta Mengejutkan!
Kenapa Kyoto Ingin Membunuh Yuji Itadori di Jujutsu Kaisen? Fakta Mengejutkan! - Setelah di pembahasan sebelumnya kita sudah sempat bahas soal Gojo Satoru yang tetap berjalan di jalur kebaikan meskipun punya kekuatan nyaris tak terbatas, dan kita juga menyinggung perjalanan Suguru Geto yang berubah menjadi jahat, kali ini kita akan masuk ke salah satu momen paling menegangkan sekaligus penuh makna dalam Jujutsu Kaisen, yaitu tentang Yuji Itadori di Kyoto Sister School Exchange Event. Pertanyaannya sederhana tapi sangat penting: kenapa Kyoto berusaha membunuh Yuji? Dan bagaimana kalau kita lihat peristiwa itu lewat kacamata Islam, khususnya dari ajaran tentang perbedaan yang Allah ciptakan supaya manusia bisa saling mengenal?
Kita mulai dulu dengan adegan yang sangat menentukan. Di anime, ini ada di episode 14-15 (Kyoto Sister School Exchange Event). Setelah Yuji “hidup kembali” dari peristiwa melawan Mahito, Gojo memperkenalkannya lagi ke para murid Kyoto. Momen yang seharusnya jadi reuni hangat malah berubah jadi ketegangan. Alih-alih tersenyum lega melihat Yuji masih hidup, murid-murid Kyoto justru menunjukkan ekspresi curiga. Dan ternyata, mereka sudah diberi instruksi: dalam pertukaran sekolah itu, mereka punya misi tambahan — membunuh Yuji Itadori.
Kenapa Kyoto Melihat Yuji Sebagai Ancaman
Kenapa? Karena Kyoto hanya melihat Yuji sebagai wadah Sukuna. Kepala sekolah Kyoto, Gakuganji Yoshinobu, menekankan bahwa keberadaan Yuji berbahaya. Dia tidak peduli kalau Yuji punya hati yang baik, tidak peduli kalau Yuji sudah berkali-kali menyelamatkan orang lain. Yang ada di kepalanya hanya satu hal: di tubuh Yuji ada Sukuna, Raja Kutukan, berarti dia ancaman.
Kalau kita perhatikan, murid-murid Kyoto awalnya juga ragu. Aoi Todo, misalnya, di episode 15, memilih untuk menguji Yuji lewat pertarungan dulu ketimbang langsung membunuhnya. Sementara Momo Nishimiya sempat terang-terangan menjelaskan pada Nobara dan Fushiguro bahwa Yuji tidak lebih dari bom waktu. Jadi, jelas banget bahwa alasan utama Kyoto adalah ketakutan. Mereka tidak mengenal Yuji, dan karena itu mereka menutup diri.
Memahami dengan Perspektif Islam
Nah, di sini kita bisa langsung tarik refleksi ke ajaran Islam. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal (lita’arafu). Kata kuncinya ada di situ: saling mengenal. Artinya, perbedaan itu bukan untuk menimbulkan kebencian, bukan untuk jadi alasan saling membunuh, tapi justru jadi pintu untuk memahami satu sama lain.
Tapi apa yang terjadi pada Kyoto? Mereka gagal mempraktikkan ta’aruf. Mereka tidak mau mengenal Yuji. Mereka hanya terpaku pada label “wadah Sukuna” tanpa melihat siapa Yuji sebenarnya. Padahal kalau mereka mau meluangkan waktu untuk mengenal Yuji, mereka akan tahu bahwa Yuji adalah sosok yang penuh pengorbanan.
Coba kita ingat adegan di episode 1. Yuji menelan jari Sukuna bukan untuk pamer atau cari masalah, tapi karena itu satu-satunya cara menyelamatkan Fushiguro yang hampir mati. Itu pengorbanan murni. Lalu di episode 5, saat melawan Sukuna di dalam tubuhnya, Yuji rela menyerahkan kendali agar orang-orang bisa selamat, meski taruhannya nyawa. Bahkan di episode 12-13, Yuji tetap memilih berjuang bersama Junpei meskipun sudah jelas situasinya berat. Semua ini menunjukkan bahwa Yuji bukanlah ancaman, melainkan seseorang yang hatinya selalu ingin melindungi. Tapi Kyoto tidak tahu, karena mereka tidak pernah mencoba mengenalnya.
Kalau kita tarik ke kehidupan nyata, betapa sering manusia melakukan hal yang sama? Kita sering memberi label pada orang lain hanya berdasarkan apa yang kelihatan di luar. Misalnya, orang dari suku tertentu dianggap keras, orang dari agama tertentu dianggap berbahaya, orang dari negara tertentu dianggap tidak bisa dipercaya. Semua itu muncul karena kita malas untuk mengenal lebih dalam. Dan hasilnya? Sama seperti Kyoto: prasangka berubah jadi kebencian.
Yang lebih menarik lagi, di episode 16-17, konflik Kyoto vs Tokyo makin intens. Nobara, Panda, dan Fushiguro sadar bahwa misi Kyoto bukan sekadar latihan, tapi benar-benar membunuh Yuji. Dari sinilah terlihat jelas bahwa murid-murid Kyoto sebenarnya hanya menjalankan perintah. Gakuganji-lah yang menjadi sumber masalah, karena ia melihat Yuji hanya sebagai “senjata berbahaya.” Ini mengingatkan kita bahwa prasangka bisa dilembagakan. Kalau pemimpin sudah memberi instruksi, kadang bawahan ikut tanpa banyak berpikir.
Pelajaran dari Jujutsu Kaisen dan Islam
Dalam Islam, Allah sudah memperingatkan bahwa jangan sampai kebencian membuat kita berlaku tidak adil (QS. Al-Maidah: 8). Bahkan terhadap musuh pun, kita diminta untuk tetap adil. Apalagi terhadap orang yang sebenarnya belum tentu musuh. Dan keadilan itu hanya mungkin terjadi kalau kita mau mengenal terlebih dahulu.
Sekarang kita lihat dari sisi Yuji. Ia tidak pernah memilih jadi wadah Sukuna. Itu semua terjadi karena keadaan darurat. Tapi ironisnya, justru pengorbanan itu membuat dia dicap sebagai ancaman. Sama seperti banyak orang di dunia nyata yang lahir dengan label tertentu yang tidak mereka pilih. Ada yang lahir di keluarga miskin, ada yang lahir di suku minoritas, ada yang lahir di negara yang dicap negatif. Lalu masyarakat buru-buru menilai mereka tanpa mau mengenal.
Di sinilah ajaran Islam terasa relevan. Allah menciptakan semua perbedaan itu sebagai sarana untuk saling mengenal, bukan untuk menjauhkan. Kalau Kyoto benar-benar memahami ini, mereka seharusnya mendekati Yuji, bukan malah ingin membunuhnya.
Menariknya, perkembangan cerita menunjukkan perubahan. Setelah pertarungan, terutama ketika Kyoto menyaksikan bagaimana Yuji bertarung dengan sepenuh hati melawan kutukan bersama mereka, beberapa murid Kyoto mulai melunak. Di episode 21, mereka akhirnya bisa duduk bersama dan merasakan bahwa Yuji bukanlah ancaman, tapi seorang teman seperjuangan. Artinya, setelah mengenal Yuji lebih dekat, prasangka mereka runtuh.
Apa yang Bisa Dipelajari Fans Anime dari Kisah Yuji
Pesan moralnya jelas banget: prasangka hanya membuang waktu. Kalau saja sejak awal Kyoto mau mengenal Yuji, mereka tidak perlu terjebak dalam konflik yang penuh salah paham. Dan ini persis dengan pesan lita’arafu. Mengenal orang lain bukan hanya soal basa-basi, tapi soal menghindari kezaliman.
Yuji sendiri, lewat tindakannya, mengajarkan kita cara menghadapi prasangka: dengan konsistensi dalam kebaikan. Dia tidak membalas kebencian Kyoto dengan kebencian. Dia tetap bertarung untuk melindungi semua orang, termasuk mereka yang ingin membunuhnya. Ini mengingatkan kita pada ajaran Islam untuk membalas keburukan dengan kebaikan, supaya permusuhan bisa berubah jadi persahabatan (QS. Fussilat: 34).
Lalu ada peran Gojo yang tidak bisa diabaikan. Dari awal, Gojo adalah orang yang percaya penuh pada Yuji. Ia menentang keputusan Gakuganji, bahkan dengan cara-cara frontal. Di episode 7-8, Gojo sudah menunjukkan bahwa ia siap menantang otoritas demi melindungi muridnya. Peran Gojo di sini mirip dengan suara hati nurani yang selalu mengingatkan: jangan buru-buru menghakimi, beri kesempatan untuk mengenal.
Kenapa Adegan Ini Masih Relevan Hari Ini
Kalau kita refleksikan, kisah Kyoto vs Yuji ini bukan sekadar konflik fiksi. Ini adalah cermin dari realitas manusia. Kita bisa jadi Kyoto, kita bisa jadi Gojo, atau kita bisa jadi Yuji. Kita bisa memilih untuk menghakimi tanpa mengenal, kita bisa memilih untuk jadi pembela keadilan, atau kita bisa jadi korban prasangka yang terus membuktikan diri lewat tindakan.
Jadi kesimpulannya, alasan Kyoto berusaha membunuh Yuji sederhana: mereka tidak mengenalnya. Mereka hanya melihat label, bukan manusia di baliknya. Dan ini pelajaran besar buat kita, bahwa Allah menciptakan perbedaan bukan untuk saling membunuh, tapi supaya kita saling mengenal.
Pertanyaannya sekarang: maukah kita belajar dari kesalahan Kyoto? Atau kita akan terus terjebak dalam pola yang sama, menghakimi tanpa mengenal, menolak tanpa memahami?
Itulah refleksi kita kali ini.
Tidak ada komentar