Hot Manga

Cancel culture


Kebebasan Berpendapat di Era Cancel Culture: Merdeka atau Mati Sosial?


Oleh: Filsuf Jalanan


Di jalanan, aku mendengar banyak hal. Bukan hanya klakson, umpatan, atau sajak-sajak yang dihembus angin—tetapi juga kesunyian orang-orang yang tak berani lagi bicara.


Aneh, di zaman yang katanya paling bebas ini, banyak orang justru membungkam diri sendiri. Bukan karena takut pada penguasa, tapi karena takut pada sesamanya. Takut dibatalkan, dicemooh, dilabeli, dikucilkan. Kebebasan bicara berubah menjadi ladang ranjau sosial.


Orang-orang menyebutnya cancel culture. Konon lahir dari kesadaran kolektif untuk menegakkan keadilan. Tapi aku melihat sesuatu yang lain: romantisasi penghukuman, di mana kemarahan dilumuri moralitas, dan pembatalan jadi perayaan kekuasaan baru.


Padahal dulu, kebebasan bicara dianggap sebagai hak paling suci dari manusia yang merdeka. John Stuart Mill pernah berkata, andai seluruh dunia sepakat atas satu pendapat dan hanya satu orang berbeda, umat manusia tidak berhak membungkamnya. Karena dari satu suara yang dianggap sesat, bisa lahir kebenaran yang disembunyikan.


Namun hari ini, bukan lagi negara yang membungkam, melainkan massa virtual yang merasa mewakili moral publik. Mereka tidak berdialog, tidak bertanya, tidak memverifikasi—mereka hanya menghakimi. Dalam sekejap, reputasi manusia yang dibangun bertahun-tahun bisa dihancurkan oleh satu kutipan yang dipotong. Ini bukan kebebasan. Ini teror digital berkedok etika.


Michel Foucault pernah mengingatkan bahwa kebenaran bukan sekadar hasil akal sehat, tapi produk dari jaringan kekuasaan. Apa yang disebut “benar” seringkali hanya “yang disetujui oleh yang punya suara lebih keras”. Maka, saat cancel culture dijalankan oleh kelompok mayoritas di media sosial, mereka bukan sekadar menyuarakan moral, tapi juga memonopoli kebenaran. Dan monopoli ini selalu berbahaya.


Bukankah ini bentuk baru dari totalitarianisme? Bukan dengan seragam militer, tapi dengan narasi moral. Bukan dengan peluru, tapi dengan komentar dan trending tagar.


Aku teringat pemikiran Hannah Arendt: bahwa ketika masyarakat kehilangan kemampuan untuk berdialog dan mendengar perbedaan, maka mereka sedang menuju kehancuran nalar kolektif. Karena di situ, yang berbeda tak lagi dianggap manusia, tapi ancaman yang harus dimusnahkan.


Cancel culture lahir dari trauma sosial. Banyak orang kecewa pada sistem hukum yang tak adil, pada elite yang kebal hukum. Maka mereka mencari keadilan sendiri. Tapi sayangnya, balas dendam yang dibalut semangat keadilan tetaplah balas dendam.


Ada yang bilang: “Itu hanya kritik.” Tapi kritik yang membunuh karakter tanpa ruang klarifikasi, tanpa niat memahami konteks, bukanlah kritik. Itu amputasi intelektual.


Di jalanan, aku sering menemui orang-orang yang salah bicara, keliru menilai, bahkan sembrono beropini. Tapi siapa aku untuk langsung membatalkan mereka? Bukankah manusia selalu berada dalam proses berpikir dan belajar?


Jika seseorang membuat kesalahan, maka yang perlu dibangun adalah ruang dialog dan perbaikan, bukan penjara sosial. Kritik seharusnya memantik perenungan, bukan pemusnahan identitas. Kritik yang sehat tak menumbangkan orangnya, tapi menggugat pikirannya. Karena itulah esensi dari masyarakat yang berpikir.


Hari ini, orang lebih takut dikritik publik daripada gagal berpikir. Banyak yang memilih diam karena khawatir kehilangan pekerjaan, teman, reputasi. Dan yang tersisa di ruang publik adalah opini-opini yang aman, jinak, dan membosankan.


Kita tidak sedang mencerdaskan publik, kita sedang melatih mereka untuk berpura-pura setuju.


Maka sebagai filsuf jalanan, aku ingin mengajak: berhenti mengkultuskan cancel culture sebagai jalan etika. Kita butuh budaya klarifikasi, bukan hanya budaya koreksi. Kita perlu ruang untuk belajar salah, ruang untuk diperbaiki, bukan langsung dibatalkan.


Kita perlu membedakan antara kritik dan linch mob. Antara mendidik dan menghukum. Antara keadilan dan kemarahan yang dipoles.


Jika tidak, maka kita sedang menciptakan generasi yang takut berpikir. Dan masyarakat yang takut berpikir adalah masyarakat yang sedang menuju bunuh diri intelektual.



Sebuah Usul dari Jalanan

Jika ingin memperjuangkan keadilan, mari kita bangun:


1. Forum klarifikasi publik yang adil dan proporsional, bukan sekadar media viral.



2. Literasi digital kritis yang diajarkan sejak dini, agar masyarakat bisa membedakan kritik dari fitnah, fakta dari framing.


3. Etika berpikir yang memanusiakan lawan bicara, bukan menundukkannya.


Karena pada akhirnya, kebebasan berpikir tak bisa hidup dalam ketakutan. Dan mereka yang paling perlu dilindungi bukan yang paling populer, tapi yang paling berani berkata jujur saat semua orang takut.


1 komentar: